Di Indonesia rumah sakit
pertama kali di dirikan oleh VOC pada
tahu 1626 yang di utamakan untuk melayani anggota militer dan kelurganya namun juga
memberikan pelayanan gratis bagi kaum pribumi yang membutuhkan pengobatan, hal
tersebut mendorong lahirnya rumah sakit lain di Indonesiadi yang di dirikan
oleh kelompok agama dan di ikuti oleh rumah sakit lainnya. Sejarah berdirinya rumah sakit lebih pada misi
kemanusiaan yaitu memberikan pelayanan pengobatan kepada masyarakat atau kita
simpulkan berorientasi sosial (sosial oriented ), seiring pertumbuhan dan perkembangan rumah sakit baik
itu di kelola oleh pemerintah maupun pihak swasta maka terjadi pergeseran nilai
dimana dahulunya lebih berorientasi sosial menjadi orientasi bisnis. Dimana
dalam pendirian dan operasinya sebuah rumah sakit harus mengeluarkan modal yang
cukup besar. Hal itu tentu membuat para
pengelola berpikir bagaimana mengembalikan modal dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentu ini
menimbulkan efek yang sangat memberatkan bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi
lemah, sehingga tidak semua lapisan masayarakata tercover oleh pelayanan
kesehatan yag memadai. Sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 disana di amanatkan bahwa
pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang, untuk mencapai semua itu tentu
harus ada regulasi yang memuat mengenai pelayanan kesehatan, hal ini yang
mendorong lahirnya UUNo.44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Selain itu rumah
sakit merupakan sebuah institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai
karakteristik tersendiri dimana banyak
dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu,
tekhnologi dan sosial masyarakat. Rumah sakit merupakan pemberi jasa layanan
kesehatan yang langsung bersentuhan dengan individu yang holistik mencakup bio,
psiko, sosial. spritual sehingga sangat rentan sekali terjadi gesekan,
kesalahapahaman, malpraktik, sehingga perlu ada aturan yang jelas mengenai hak
dan kewajiban yang saling berhadapan. perauran yang mengatur tentang perumahsakitan selama ini
di anggap belum memberikan kepastian
hukum baik bagi masyarakat sebagai pengguna maupun rumah sakit sebagai pihak
pemberi jasa sehingga perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tentang rumah
sakit yang mengakomodir hal-hal tersebut sehingga lahirlah UU No.44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
Namun lahirnya UU tentang
rumah sakit juga menimbulkan reaksi beragam bagi para pelakunya salah satuya
adalah dengan di ajukannya permohonan judicial review oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Pimpinan Pusat mehammadiyah mengajukan Judicial Review pasal beberapa pasal 7, pasal 25, pasal 62,
pasal 63, pasal 64. Dimana sebelumnya dalam pasal 7 ayat (2)’’ Rumah Sakit
dapat didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta’’, ayat
(4)’’Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud ayat (2)
harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak dibidang
perumahsakitan.
Ketentuan tersebut di nilai
pemohon mempunyai hambatan khususnya
mengenai perizinan yang dibutuhkan, dimana ketika di ajukan permohonan ijin
operasional tersebut ditolak oleh Kementrian Kesehatan dan badan hukum yang
berkompeten, selain itu juga harus menanggung beban pidana penjara, denda,
sanksi administratif sebagai pemilik dan menjadi halangan bagi keberlangsungan
usaha rumah sakit.
Persidangan Mahkamah
Konstitusi yang diketuai oleh Hamdan Zoelva mengabulkan permohonan sebagian
menyatakan bahwa “pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak di maknai
rumah sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak dibidang
perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan
hukum bersifat nirlaba’’.
Dengan putusan itu tentu
telah memberikan ruang bagi rumah sakit yang berbadan hukum yayasan untuk terus
turut serta dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar