WELCOME TO MY BLOG

Sabtu, 23 Mei 2015

KETERWAKILAN PARA SRIKANDI DI PANSEL KPK



Pagi- pagi ketika sedang prepare berangkat kerja sambil nonton chanel berita nasional, topik hangat bincang pagi itu adalah “SRIKANDI MENCARI KESARTRIA”  terkait dengan penunjukan presiden Jokowi untuk tim panitia seleksi pemilihan ketua komisi pemberantasan korupsi ( PANSEL KPK) yang berjumlah Sembilan orang yang kesemuanya adalah perempuan. Hal ini mendapat reaksi beragam. Bincang pagi itu menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, politisi, dan pengamat politik serta menampilkan petikan komentar dari para politisi senayan.
Saya bukan aktivis feminis tapi ada hal yang menggelitik nurani saya sebagai perempuan pagi itu. Terlepas dari entah  strategi politik apa yang sedang Jokowi jalankan tapi saya mengomentari bagian keterwakilan/ keberadaan para  perempuan notabene  semuanya adalah perempuan di pansel KPK. Saya simak komentar bincang pagi itu ada satu komentar yang lebih tepatnya mengatakan “pola pikir perempuan itu berbeda strukturnya dengan laki-laki  jadi  akan lebih tepatnya kalau di imbangi dengan keberadaan laki-laki”.  Saya menyimpulkan bahwa dengan kata lain narasumber itu memandang skeptis keberadaan para SRIKANDI di tim pansel KPK.
Jadi salah ya kalau semua tim pansel KPK itu perempuan?, ketika dulu tim pansel KPK laki-laki semua, rasanya gak ada yang mempermasalahkan gender, tentang keberadaan kenapa disana laki laki semua.
Baru sebulan yang lalu tepat 21 April kemaren kita memperingati hari Kartini, sebagai simbolis bentuk pengakuan negara kita akan emansipasi wanita di segala bidang, well jika lihat dari fenomena di atas sepertinya bias gender masih lekat di negara sedemokratis ini, sebagai bahan refleksi kita bersama. Sebagai negara yang besar rasanya pemikiran yang seperti itu  terlalu kerdil jika dalam masa kekinian kita masih mendebatkan hal yang tidak subtantif.
Saatnya kita membuat perubahan, jangan memelihara pola pikir yang konvensional, lebih ways dalam menyikapi persoalan bangsa demi Indonesia yang lebih besar, setuju ??..




LATAR BELAKANG LAHIRNYA UU TENTANG RUMAH SAKIT

Di Indonesia rumah sakit pertama kali di dirikan oleh VOC  pada tahu 1626 yang di utamakan untuk melayani anggota militer dan kelurganya namun juga memberikan pelayanan gratis bagi kaum pribumi yang membutuhkan pengobatan, hal tersebut mendorong lahirnya rumah sakit lain di Indonesiadi yang di dirikan oleh kelompok agama dan di ikuti oleh rumah sakit lainnya. Sejarah  berdirinya rumah sakit lebih pada misi kemanusiaan yaitu memberikan pelayanan pengobatan kepada masyarakat atau kita simpulkan berorientasi sosial (sosial oriented ), seiring  pertumbuhan dan perkembangan rumah sakit baik itu di kelola oleh pemerintah maupun pihak swasta maka terjadi pergeseran nilai dimana dahulunya lebih berorientasi sosial menjadi orientasi bisnis. Dimana dalam pendirian dan operasinya sebuah rumah sakit harus mengeluarkan modal yang cukup besar. Hal itu tentu membuat  para pengelola berpikir bagaimana mengembalikan modal dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentu ini menimbulkan efek yang sangat memberatkan bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi lemah, sehingga tidak semua lapisan masayarakata tercover oleh pelayanan kesehatan yag memadai. Sebagaimana yang tercantum dalam  UUD 1945 disana di amanatkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang, untuk mencapai semua itu tentu harus ada regulasi yang memuat mengenai pelayanan kesehatan, hal ini yang mendorong lahirnya UUNo.44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Selain itu rumah sakit merupakan sebuah institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai karakteristik  tersendiri dimana banyak dipengaruhi oleh berbagai disiplin  ilmu, tekhnologi dan sosial masyarakat. Rumah sakit merupakan pemberi jasa layanan kesehatan yang langsung bersentuhan dengan individu yang holistik mencakup bio, psiko, sosial. spritual sehingga sangat rentan sekali terjadi gesekan, kesalahapahaman, malpraktik, sehingga perlu ada aturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban yang saling berhadapan. perauran yang mengatur tentang perumahsakitan selama ini di anggap  belum memberikan kepastian hukum baik bagi masyarakat sebagai pengguna maupun rumah sakit sebagai pihak pemberi jasa sehingga perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tentang rumah sakit yang mengakomodir hal-hal tersebut sehingga lahirlah UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Namun lahirnya UU tentang rumah sakit juga menimbulkan reaksi beragam bagi para pelakunya salah satuya adalah dengan di ajukannya permohonan  judicial review oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Pusat mehammadiyah mengajukan Judicial Review  pasal beberapa pasal 7, pasal 25, pasal 62, pasal 63, pasal 64. Dimana sebelumnya dalam pasal 7 ayat (2)’’ Rumah Sakit dapat didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta’’, ayat (4)’’Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak dibidang perumahsakitan.
Ketentuan tersebut di nilai pemohon mempunyai hambatan  khususnya mengenai perizinan yang dibutuhkan, dimana ketika di ajukan permohonan ijin operasional tersebut ditolak oleh Kementrian Kesehatan dan badan hukum yang berkompeten, selain itu juga harus menanggung beban pidana penjara, denda, sanksi administratif sebagai pemilik dan menjadi halangan bagi keberlangsungan usaha rumah sakit.
Persidangan Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Hamdan Zoelva mengabulkan permohonan sebagian menyatakan bahwa “pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak di maknai rumah sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak dibidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum bersifat nirlaba’’.
Dengan putusan itu tentu telah memberikan ruang bagi rumah sakit yang berbadan hukum yayasan untuk terus turut serta dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.