WELCOME TO MY BLOG

Jumat, 12 Februari 2016

KRITISI TERHADAP KEBIJAKAN PAKET EKONOMI KE EMPAT BIDANG KETENAGAKERJAAN

Pertengahan tahun 2015, Indonesia mengalami perlambatan ekonomi akibat terpengaruh dari perubahan struktur pasar financial global, terjadi pelemahan nilai rupiah dari sektor domestik di perparah dengan isu-isu politik yang berkembang berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Sebagai respon tanggap cepat pemerintah mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekomomi, guna mengatasi hal tersebut. pada tahap ke empat pemerintah mengeluarkan kebijakan paket ekonomi ke empat bidang ketenakerjaan dan kredit usaha rakyat (KUR).
Khusus mengenai bidang ketenagakerjaan, oktober 2015  pemerintah telah menandatangani regulasi mengenai pengupahan. 
Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang efektif pada tahun 2016, dengan PP tersebut pemerintah berharap bahwa kebijakan pengupahan di arahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh. penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaan sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarga secara wajar.
Menurut Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan bahwa dalam paket kebijakan ini, pemerintah menjamin sistem pengupahan para pekerja atau buruh nantinya tidak masuk dalam kategori upah murah dan akan ada kenaikan upah setiap tahunnya, akan tetapi kebijakan ini juga tidak akan memberatkan bagi pengusaha.
Harapan pemerintah dengan terbitnya PP ini akan memancing respon para investor untuk mengembangkan usahanya dengan menjamin pengupahan yang terjangkau. 
tentunya untuk setiap arah kebaikan dan perbaikan pembangunan ekonomi bangsa selayaknya kita apresiasi dan dukung upaya pemerintah, namun yang menjadi pertanyaan adalah tepatkan paket kebijakan ekonomi keempat ini diberlakukan ??..
Mengingat dari formulasi upah yang ditawarkan dalam PP No.78 ini lebih pada memberatkan para pekerja karena perhitungan kenaikan upah di dasarkan pada perhitungan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi nasional, mengingat letak demograpis Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan tentu tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang jauh berbeda pada tiap daerahnya, sehingga sangat tidak menguntungkan pekerja jika perhitungannya didasarkan pada tingkat nasional, selain  itu juga dengan penetapan kenaikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang masing-masing maksimal hanya 5 % sehingga kenaikan upah pertahunnya maksimal hanya 10 % dari upah yang sedang berjalan pada tahun tersebut bahkan berpotensi minus.
pertanyaan kedua efektifkan perberlakuan PP No. 78  ??..
Jika melihat dunia usaha nasional, kita lihat banyak usaha multi international yang menutup perusahaannya di indonesia, apakah mereka tidak mampu membayar upah sehingga perusahaan tersebut harus tutup ?, jawaban tidak. hal tersebut lebih di karenakan pada melemahnya daya beli masyarakat. 
Harusnya pemerintah bukan menerbitkan peraturan mengenai upah yang terjamin/terjangkau, melainkan memberi semangat untuk meningkatkan daya beli masyarakat sehingga perusahaan-perusahaan tidak tutup yang menyisakan kisah sedih dari para pekerja dengan bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia.
Regulasi upah merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam dunia usaha dan sangat sensitif bagi para pekerja. Pemerintah sebagai pengayom rakyat harusnya dapat menjamin penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945. Pekerja yang berada pada bergaining positition yang lemah harusnya mendapat perlindungan dari pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih melindungi kepentingan para pekerja.
UMP harusnya didasarkan pada perhitungan pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah dengan kesekapatan dari dewan pengupahan, perwakilan pekerja dan pengusaha. Dan UMP harusnya dijadikan sebagai penjaring pengaman pertama saja, selebihnya ketentuan mengenai upah diserahkankan kepada pekerja dan pengusaha dengan mengedepankan azas kebebasan berkontrak 1320 KUHPER. 



Selasa, 09 Februari 2016

PERTANGGUNJAWABAN HUKUM RUMAH SAKIT TERHADAP PELAYANAN YANG DIBERIKAN KEPADA MASYARAKAT (PENERAPAN TEORI HUKUM MURNI HANS KELSEN)

1.LATAR BELAKANG 
Rumah Sakit merupakan salah satu organ yang bergerak melalui hubungan hukum dalam masyarakat yang diikuti oleh norma hukum dan norma etik masyarakat. Kedua norma tersebut berbeda baik dalam pembentukannya maupun dalam pelaksanannya, dan kedua norma tersebut tetap dipergunakan dan tetap diterapkan dalam Rumah Sakit untuk melayani kebutuhan pasien yang membutuhkan pertolongan kesehatan. Menurut Udang- Undang No. 44 tahun2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat1. Undang-Undang Rumah Sakit memberikan perlindungan hukum baik bagi masyarakat, tenaga kesehatan maupun pelaku usaha dan korporasinya. Sebagai badan hukum publik maka hakikatnya sebuah rumah sakit adalah penerapan hukum perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara, maka ruang lingkup tanggung jawabn juga meliputi tanggung jawab perdata, tanggung jawab pidana dan tanggung jawab Administrasi Negara2. 
a. Tanggung Jawab Perdata 
Hukum yang terjalin antara pasien maupun tenaga kerja yang berada di bawah tanggung jawab rumah sakit adalah lingkup hubungan perdata, hubungan yang dilahirkan adalah hubungan kontraktual teraupetik, di mana ppestasi dari perikatan ini bukan hasil (result verbintennis) tetapi upaya hasil (inspaning verbintennis). Perkara umumnya yang terjadi adalah perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Sebagaimana hubungan perdata lain, hubungan antara pasien dengan rumah sakit merupakan hubungan hak dan kewajiban yang saling berhadapan dan berimbang, masing-masing dibebankantanggung jawab hukum terhadap subyek hukum yang melanggar perikatan sebagaimanadi atur dalam pasal 1243 KUHPER atau secara khusus di atur dalam pasal 55 Undang-Undang kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit Pasal 44''.
b.   Tanggung Jawab Pidana
Ketentuan pidana pada rumusan KUHP di atur mengenaiketentuan pidana yang dapat diberlakukan pula terhadap rumah sakit selaku pemberi layanan kesehatan (provider) jika melakukan perbuatan melanggar norma hukum pidana . ketentuan-ketentuan di maksud terletak dalam ketentuan KUHP Pasal 322 pasal ini terkait dengan kejahatan yang berhubungan dengan kedudukan hukum seseorang sebagai pemegang jabatan.
b.  Tanggung Jawab Administrasi
Dalam ruang lingkup tanggung jawab administrasi Negara, hubungan hukum yangterjalin adalah antara pemerintah selaku subyek hukum pemegang kekuasaan dan rumah sakit selaku subyek hukum menjalankan perintah dari pemerintah.

     2. TEORI KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB; TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DAN KELOMPOK
Dalam tulisan Jimli asssidqie mengutif teori Hans kelsen :
       ‘’Pembedaan terminologi antara kewajiban hukum dan pertanggungjawaban hukum diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap pelaku delik langsung (deliquent) tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya. Hubungan tersebut ditentukan oleh aturan/tatanan hukum. Contohnya pertanggungjawaban korporasi terhadap suatu delik yang dilakukan oleh organnya. Suatu korporasi tidak memenuhi suatu perjanjian dan memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan olehnya. Atas dasar gugatan yang dilakukan pihak lain terhadap perjanjian tsb, suatu sanksi perdata dilaksanakan terhadap harta benda milik korporasi, yang merupakan harta kekayaan bersama dari para anggota korporasi tersebut. Dalam bahasa hukum, korporasi atau negara dipersonifikasikan; mereka adalah juristic person yang berlawanan dengan natural person. Dimana sebagai subjek pembawa kewajiban dan hak. Delik yang dilakukan oleh seorang individu-organ korporasi atau organ negara, maka sanksi ditujukan kepada korporasi atau terhadap semua subjek dari negara.
        Tanggungjawab seseorang mencakup perbuatan individu-individu yang lain. Hubungan hukum yang sama, yaitu antara delik dan sanksi, dinyatakan dalam konsep kewajiban dan tanggungjawab. Namun kedua konsep tsb menunjuk kepada dua hal yang berbeda dari hubungan sama. Dengan kata lain, norma hukum yang sama digambarkan sebagai kewajiban (keharusan) maupun sebagai tanggungjawab (pertanggungjawaban). Norma hukum mengandung arti kewajiban dalam hubungan dengan orang yang berpotensi sebagai pelaku delik. Norma hukum ini mengandung arti suatu tanggungjawab bagi yang berpotensi menjadi objek’’.
   Karena itu dapat dibenarkan untuk membedakan antara kewajiban dan tanggungjawab dalam kasus-kasus dimana sanksi tidak hanya ditujukan kepada pelaku delik, tetapi juga terhadap individu-individu lain yang mempunyai suatu hubungan yang ditentukan menurut hukum dengan pelaku delik4. 
    Pelaku delik adalah individu yang perbuatannya, karena telah ditentukan tatanan/aturan hukum, merupakan kondisi pemberian sanksi ditujukan terhadapnya atau terhadap individu lain yang mempunyai hubungan yang ditetapkan oleh hukum dengan pelaku delik. Subjek dari kewajiban hukum, yang diwajibkan menurut hukum adalah orang yang berkompeten untuk mematuhi atau tidak mematuhi norma hukum, yakni orang dalam perbuatannya di dalam kualitas deliknya merupakan kondisi pemberian sanksi. Tanggungjawab atas delik adalah orang, atau orang-orang yang terhadapnya sanksi ditujukan, meskipun bukan perbuatannya, melainkan hubungannya yang ditentukan menurut hukum dengan pelaku delik, yang merupakan kondisi dari sanksi yang ditujukan kepada dia atau mereka.
           Biasanya, orang hanya bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri, terhadap delik yang dilakukan sendiri tetapi kasus-kasus tertentu dimana seseorang menjadi bertanggungjawab terhadap perbuatan yang merupakan kewajiban dari orang lain, bertanggung jawab terhadap delik yang dilakukan oleh orang lain. Tanggung jawab dan kewajiban juga menunjuk kepada delik itu, tetapi kewajiban selalu menunjuk kepada delik dari pelaku itu sendiri, sedangkan tanggungjawab seseorang bisa menunjuk delik yang dilakukan orang lain.
     Dalam ranah hukum perdata, tanggungjawab terhadap kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh seseorang lain. Dengan mengandaikan bahwa tiada sanksi yang ditujukan kepada orang yang menyebabkan kerugian, maka deliknya tidak terpenuhinya kewajiban untuk mengganti kerugian tetapi kewajiban ini pada orang yang dikenai sanksi.
        Di sini orang yang bertanggung jawab terhadap sanksi mampu menghindari sanksi melalui perbuatan yang semestinya, yakni dengan memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh seorang lain7.
Suatu sanksi bila dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki komunitas/masyrakat hukum yang sama dengan individu yang melakukan delik
sebagai organ komunitas tsb, maka disebut sebagai pertanggung jawaban kolektif.
Pertanggungjawaban individual maupun kolektif dapat diberlakukan dengan mengingat fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang sepenuhnya independen.
        Ketika sanksi tidak diterapkan kepada pelaku delik, tetapi kepada individu yang memiliki hubungan hukum dengan pelaku delik, maka pertanggungjawaban individu tersebut memiliki karakter pertanggungjawaban absolut. Pertanggunganjawaban kolektif selalu merupakan pertanggungjawaban absolute.

3.  KASUS     

        kasus malpraktik yang sudah mempunyai putusan tetap seperti yang dilansir oleh Detik News : “Jumat 21 Jun 2013, 12:44 WIB-Jakarta. Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) keluarga pasien yang menggugat Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Alhasil, RSPI harus membayar ganti rugi yang dialami keluarga pasien Sita Dewi Darmoko sebesar Rp 2 miliar akibat salah diagnosa tumor.            
       Putusan MA itu diketok pada 2 Februari 2012 namun baru saja. diumumkan kepada publik lewat website MA. Seperti detikcom kutip dari website MA, Jumat (21\/6\/2013) dalam putusan PK Nomor 515 PK\/Pdt\/2011, kasus bermula saat Sita Dewi melakukan operasi Tumor Ovarium di RSPI pada 12 Februari 2005. Tim dokter yang melakukan operasi itu dipimpin Prof DR Ichramsyah A Rachman dengan anggota Dr Hermansyur Kertowisatro dan Prof Dr I Made Nazar.            
        Dari operasi itu, berdasarkan hasil uji Pathology Anatomi (PA) dinyatakan tumor yang menjangkit di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas. Setelah tumor itu diangkat, sampelnya dikirim untuk dites lagi. Hasilnya, pada 16 Februari 2005, PA justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Tumor yang ada di ovarium Sita ternyata ganas. Namun PA ini tidak pernah dikabarkan ke Sita maupun keluarganya. Tepat setahun kemudian atau pada pada 16 Februari 2006, Sita mengeluhkan adanya benjolan di sekitar perutnya. Lantas dilakukanlah CT Scan dan hasilnya Sita mengalami kanker liver stadium 4. Hal ini membuat kekecewaan yang sangat mendalam terhadap keluarga pasien karena awalnya dinyatakan bukan tumor ganas.Lantas keluarga memindahkan Sita ke RS Medistra. Namun sayang, tidak berapa lama nyawa Sita tak tertolong. Atas kesalahan diagnosa ini, keluarga pasien yang diwakili oleh anak Sita yaitu Pitra Azmirla dan Damitra Almira mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Pitra dan Damitra menggugat RSPI beserta para dokter yang menangani ibunya tersebut. Dalam gugatannya, RSPI dkk diminta mengganti rugi kerugian materiil sebesar Rp 172,7 juta dan kerugian immaterial sebesar Rp 20 miliar.            
        “Almarhum mengalami proses pengobatan yang panjang dan melelahkan,sementara kelalaian penyampaian PA mengakibaktakn almarhum semakin menderita,” papar Pitra dan Damitra dalam berkas gugatan itu.            
         Kerugian immaterial juga disebabkan kehilangan ibu yang juga kepala rumah tangga. Menjelang akhir hayat sampai berpulangnya almarhum, janji dan tanggug jawab Para Tergugat tidak pernah terealisir.        
      “Bahkan para Tergugat mencari-cari alasan dan terus melempar tanggung jawab kepada para dokter yang menangani almarhum,” papar penggugat. Atas gugatan ini, RSPI dkk menolak dengan tegas adanya kelalaian itu. “Para Penggugat telah menuduh; Tergugat I kurang tanggap quod non<\/em> berdasarkan hal-hal yang hanya merupakan suatu asumsi saja tanpa didukung bukti-bukti yang valid dan sah,” demikian salah satu eksepsi pihak rumah sakit dalam halaman 10.           
        Atas gugatan ini, PN Jaksel pada 30 Agustus 2007 memutuskan RSPI dkk telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh sebab itu RSPI dkk harus membayar ganti rugi baik materil maupun immaterial sebesar Rp 2 miliar.            
          Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 27 November 2008 dalam putusan bernomor 218\/PDT\/2008\/PT.DKI. Dalam vonis banding itu, Tergugat III yaitu Prof Dr I Made Nazar dibebaskan dari hukuman.
       Adapun di tingkat kasasi, MA hanya menghukum pihak RSPI sebesar Rp 200 juta. Sedangkan para dokter dinyatakan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Atas vonis ini, Pitra pun mengajukan PK dan dikabulkan “Mengadili kembali, menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum para Tergugat membayar kerugian materil dan immaterial sebesar Rp 2 miliar,” putus majelis PK yang diadili oleh Atja Sondjaja, Valerina JL Kriekhoff dan I Made Tara pada 2 Februari 2012 silam. detiknews(asp/nrl)

4.   APLIKASI TEORI

hukum dapat dibebani tanggun jawab perdata dalam hal rumah sakit melakukanpelanggaranhukum yang menyebabkan pasien menderita kerugian, dapat dasarkan pada jenis-jenis pertanggung jawaban seperti :
a.       Personal liability
Adalah pertanggung jawaban yang melekatpada individu seseorang artinya sipa yang berbuat ialah yang bertanggung jawab

b.      Strict liability
Adalah  tanggungjawab yang eringkali di sebut sebagai pertanggungjawaban tanpakesalahan (liability without fault). Mengingatseseorang harus bertanggung jawabmeskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa, baik yang bersifat sengaja (intentional), kecanggungan (ractikness) ataupun kelalaian (negligence). Dimana pada tanggung jawab ini berlaku product sould atau article of commerce, yang mana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkan, kecualiprodusen telah member peringatan akan kemungkinana terjadinya resiko tersebut

c.       Vicarious Liability
Adalah tanggungjawab yang timbu; akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya, sejalan dengan pasal 1367 ” seseorang tidak hanya bertanggungjawab terhadap atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, atau disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengawasannya.

d.      Responded Liability
Adalah tanggung jawab renteng

e.       Corporate Liability
Adalah tanggung jawab yang berada pada pemerintah, dalamhal inikesehatan menjdi tanggung jawab menteri kesehatanf.       Rep Ipso Liquotor Liability
Adalah tanggng jawab yang diakibatkan perbuatan melebihi wewenang atau perbuatan lancang. Dalam kasus malpraktik Nyonya Sita ini, rumah sakit sebagai provider (penyelenggara layanan kesehatan) adalah subyek hukum (rects persoon) yang kepadanya dibebankan hak dan kewajiban sesuai dengan pasal 1243 KUHPER dan Pasal 55 Undang-Undang Kesehatan dapat digugat ganti kerugian, serta dalam pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit “ Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang di timbulkan atas kelalaian yang ditimbulkan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”.            

          Sehingga menurut teori Kelsen “Biasanya, orang hanya bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri, terhadap delik yang dilakukan sendiri tetapi kasus-kasus tertentu dimana seseorang menjadi bertanggungjawab terhadap perbuatan yang merupakan kewajiban dari orang lain, bertanggung jawab terhadap delik yang dilakukan oleh orang lain. Tanggung jawab dan kewajiban juga menunjuk kepada delik itu, tetapi kewajiban selalu menunjuk kepada delik dari pelaku itu sendiri, sedangkan tanggungjawab seseorang bisa menunjuk delik yang dilakukan orang lain. Dalam ranah hukum perdata, tanggung jawabterhadap kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh seseorang lain.
       Dengan mengandaikan bahwa tiada sanksi yang ditujukan kepada orang yang menyebabkan kerugian, maka deliknya tidak terpenuhinya kewajiban untuk mengganti kerugian tetapi kewajiban ini pada orang yang dikenai sanksi. Di sini orang yang bertanggungjawab terhadap sanksi mampu menghindari sanksi melalui perbuatan yang semestinya, yakni dengan memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh seorang lain”.         

     Berdasar pada teori kelsen dn sejalan dengan KUHPER serta Undang-Undang kesehatan dan Undang-Undang Rumah sakit, pada putusan Peninjauan Kembali yang di kenakan sanksi ganti rugi adalah RSPI dan para tenaga dokter yang terlibat dalam kasus tersebut.
 5. ANALISA
            Kealfaan dan khilafan lebih merupakan pertanggung jawaban absolute dari pada culfability. Rumah sakit sebagai pembawa hak dan kewajiban menurut Kelsen adalah Juristic person dimana delik yang dilakukan oleh seorang individu-organ korporasi atau organ Negara, maka sanksi di tujukan kepada korporasi atau semua subjek yang terlibat.Orang yang bertanggung jawab terhadap sanksi mampu menghindari sanksi melalui perbuatan yang semestinya yakni dengan mengganti rugi atas kerugian yang disebabkan orang lain. 
6. PENUTUP
           Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban adalah konsep tanggung jawab hukum (liability), seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa ia dapat dikenakan sanksi dalam kasus perbuatan yang bertentangan/ Berlawanan hukum, sanksi di kenakan deliquet, karena perbuatannya sendiri yng membuat orang tersebut bertanggung jawab. Konsep tentang pertanggung jawaban hukum tidak hanya dikenakan terhadap pelaku delik langsung (deliquet) tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya. Suatu sanksi bila dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki Komunitas/masyarakat hukum yang sama dengan individu yang melakukan delik sebagai organ komunitas tersebut, maka disebut sebagai tanggung jawab kolektif.              


DAFTAR PUSTAKA

Hans Kelsen, 2012, Pengantar Teori Hukum, Cetakan VIII, bandung, terjemahan Siwi Purwandari 

M. Jimly assiddiqie Ali Saf’at  , 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta. @Kontitusi Press.

Machli Riyadi, SH. MH., 2015, Hukum Kesehatan Kontemporer, Bandung, Akademia

Kitab Undang- Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang- Undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

http://news.detik.com/berita/2280084/gara-gara-malpraktik-rs-pondok-indah-dihukum-rp-2-miliar