WELCOME TO MY BLOG

Rabu, 08 Februari 2017

POLITIK HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA TAX AMNESTY



A. PENDAHULUAN
Dalam upaya peningkatan penerimaan negara,pemerintah mencanang kebijakan reformasi dibidang perpajakan dengan memberikan Tax Amnesty (pengampuan pajak) bagi para wajib pajak.Negara kita mengalami banyak masalah dibidang perpajakan misalnya seperti rendahnya kepatuhan untuk membayar pajak, lemahnya sistem perpajakan.
Tujuan dibuat kebijakan Tax Amnesty termuat dalam Pasal ayat (2) Huruf a adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi.[1]
Dibeberapa Negara juga mengalami hal serupa, dan melakukan program tax amnesty seperti India (1997), Irlandia (1988), Italia (1982, 2984,2001/2002) adalah contoh beberapa Negara yang berhasil melakukan kebijakan Tax Amnesty.
Pemerintahan bersiap menerapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) pada Juli 2016. Saat kebijakan ini berjalan, diharapkan bisa memicu masuknya dana repatriasi hingga Rp 1.000 triliun ke Indonesia.
Dana ini dipastikan bakal membanjiri sektor keuangan maupun sektor riil, termasuk ke portofolio investasi dengan tujuan mendorong perekonomian nasional.Pengamat Perpajakan dari Universitas Indonesia Ruston Tambunan menilai bahwa, tax amnesty sejatinya merupakan kebijakan yang mengampuni para pengemplang pajak. Lewat pengampunan pajak, data atau basis Wajib Pajak Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan semakin luas sehingga ke depan tidak ada yang bisa mangkir dari kewajibannya kepada negara.
Tax amnesty adalah pengampunan orang-orang yang tidak patuh bayar pajak, para penjahat pajak. Jadi ada yang mengatakan secara teori kebijakan ini tidak adil dilihat dari manapun karena selama ini yang bayar pajak orang yang patuh. Tapi dengantax amnesty, harapannya mereka jadi patuh,” ucap dia saat dihubungi[2].
Indonesia sebenarnya pernah melakukan kebijakan tax amnesty pada tahun 2008 yang dikenal dengan Sunset Policyakan tetapi mengalami kegagalan. Sehinggga berkaca pada pengalaman sebelumnya ada sebagian yang skeptis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Bahwa tak dapat dipungkiri pula Tax Amnesty merupakan isu nasional dan internasional karena yang mendasari dari Tax Amanesty adalah dengandihapuskan pokok pajak, sanksi administrative, sanksi pidana pajak di masa lalu demi meningkatkan penerimaan yang dimasa yang akan datang karena tax amanesti memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk masuk atau kembali ke sistemadministrasi yang berdampak pada penerimaan pajak di masa yang akan datang akan meningkat serta para waji pajak dan memepertahankannya.
Disisi lain Tax Amnesty ini menimbulkan kecemburuan bagi para wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak, tentu hal ini pun tidak bisa dipandang biasa oleh pemerintah dan menjadi bahan pertimbangan sehingga dapat terminimalisir side effect dari kebijakan ini.
Selain itu, keberhasilan pembangunan nasional sangat didukungoleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaanpembayaran pajak.Agar peran serta ini dapat terdistribusikan denganmerata tanpa ada pembeda, perlu diciptakan sistem perpajakan yang lebihberkeadilan dan berkepastian hukum.Hal ini didasarkan pada masihmaraknya aktivitas ekonomi di dalam negeri yang belum atau tidakdilaporkan kepada otoritas pajak.Aktivitas yang tidak dilaporkan tersebutmengusik rasa keadilan bagi para Wajib Pajak yang telah berkontribusiaktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakan karena para pelakunyatidak berkontribusi dalam pembiayaan pembangunan nasional.[3]

B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian kebijakan pemerintah dalam hal Tax Amnesty (pengampuan pajak) dapat ditarik beberaparumusan masalah, di antaranya;
1. Bagaimana landasan hukum pelaksanaan kebijakan Tax Amnesty ?
2. Bagaimana sanksi hukum bagi wajib pajak yang telah masuk manajemen data dan informasi, tetapi tetapi tidak patuh terhadap kebijakan Tax Amnesty ?

C. ANALISA
1. Landasan Hukum Pelaksanaan Tax Amnesty
Sebuah konsep dan justifikasi dri Tax Amnesty Baer dan Le Borgne, sebagaimana dikutip dalam oleh Mikesell dan Ross, mendefiniskan tax amnesty sebagai “ a limited time for by the government to a specified group of taxpayer to pay a defined amount, in exchange forforgiveness of a tax liability (including interest and penalties), relating to a previous tax period(s), a well as freedom oflegal prosecution.[4]
Dari definisi diatas selain memberikan pengampunan untuk sanksi adminisratif, tax amnesty juga dimaksudkan untuk menghapuskan sanksi pidana perpajakan.Tax amnesty juga dapat diberikan pada pelaporan secara sukarela data kekayaan wajib pajak yang tidak dilaporkan dimasa sebelumnya tanpa membayar pajak yang mungkin belum dibayar sebelumnya. Dalam menetapkan perlu tidaknya tax amnesty, perlu dipertimbangkan apa yang menjadi justifikasi dari Tax Amnesty dan hingga batas mana Tax Amnesty dapat dijustifikasi Pada umumnya, pemberian Tax Amnesty bertujuan untukMeningkatkan Penerimaan Pajak Dalam Jangka PendekPermasalahan penerimaan pajak yang stagnan atau cenderung menurun seringkali menjadi alasan pembenar diberikannya Tax Amnesty.Hal ini berdampak pada keinginan pemerintah yang berkuasa untuk membuat kebijakan dengan tujuan untuk meberikan rasa keadilan dan kemamfataan.
Jika kita memaknai kembali teori keadilan Aristoteles yang menggambarkan hubungan keadilan dengan hukum, ia menjelaskan perlu diselidiki perbuatan-perbuatan mana keadilan itu berhubungan dan di tengahperbuatan-perbuatan mana keadilan itu berada. Keadilan adalah sikappikiran yang yang ingin bertindak adil, yang tidak adil adil orang yang melanggar undang-undang yang dengan tidak sepantasnya menghendaki lebih banyak keuntungan dari orang lain dan pada hakikatnya tidak mengingini asa sama rata, sama rasa. Sesuatu yang di tetapkan dengan undng-undang adalah adil sebab adil adalah apa yang mendatangkan kebahagiaan dalam masyrakat.[5]
a) Tax Amnesty diberikandengan harapan pajak yang dibayar oleh wajib pajak selama program Tax Amnestyakan meningkatkan penerimaan pajak. Meski demikian, peningkatan penerimaan pajak dari program Tax Amnesty ini mungkin saja hanya terjadi selama program Tax Amnesty dilaksanakan mengingat wajib pajak bisa saja kembali kepada perilaku ketidapatuhannya setelah programTax Amnestyberakhir. Dalam jangka panjang, pemberian Tax Amnesty tidak memberikan banyak pengaruh yang permanen terhadap penerimaan pajak jika tidak dilengkapi dengan program peningkatan kepatuhan dan pengawasan kewajiban perpajakan.
b) Meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akandatang. Permasalahan kepatuhan pajak merupakan salah satu penyebab pemberian Tax Amnesty. Para pendukung Tax Amnestyumumnya berpendapat bahwa kepatuhan sukarela akan meningkat setelah program Tax Amnestydilakukan.Hal ini didasari pada harapan bahwa setelah program Tax Amnesty dilakukan wajib pajak yang sebelumnya belum menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan akan masuk menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan. Dengan menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan, maka wajib pajak tersebut tidak akan bisa mengelak dan menghindar dari kewajiban perpajakannya.
c) Mendorong repatriasi modal atau asset
Kejujuran dalam pelaporan sukarela atas data harta kekayaansetelah program tax amnestymerupakan salah satu tujuan pemberian tax amnesty.Dalam konteks pelaporan data harta kekayaan tersebut, pemberian tax amnesty juga bertujuan untuk mengembalikan modal yang parkir di luar negeri tanpa perlu membayar pajak atas modal yang di parkir di luar negeri tersebut.Pemberian tax amnesty atas pengembalian modal yang di parkir di luar negeri ke bank di dalam negeri dipandang perlu karenaakan memudahkan otoritas pajak dalam meminta informasi tentang data kekayaan wajib pajak kepada bank di dalam negeri.

d) Transisi ke sistem perpajakan yang baru
Tax amnesty dapat dijustifikasi ketika Tax amnesty digunakan sebagai alat transisi menuju sistem perpajakan yang baru. Dalam konteks ini, Tax amnesty menjadi instrumen dalam rangka memfasilitasi reformasi perpajakan dan sebagai kompensasi atas penerimaan pajak yang berpotensi hilang dari transisi ke sistem perpajakan yang baru tersebut.
Walau demikian, keempat tujuan pemberian tax amnesty di atas tidak memperhatikan isu non-diskriminasi antara tax evaders’ dan honest taxpayers dalam menentukan perlu tidaknya pemberian tax amnesty. Secara khusus, permasalahan ini dapat dijabarkan menjadi apakah dishonest taxpayers atau tax evaders memperoleh perlakuan yang lebih baik daripada honest

Taxpayers, atau apakah dishonest taxpayers mendapatkan keuntungan dari perilakunya menggelapkan pajak.Jika jawaban atas pertanyaan tersebut bernada positif, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah keuntungan tersebut dapat dijustifikasi?
Untuk menentukan apakah terdapat perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara tax evaders’ dan honest taxpayers’, perlu diperhatikan seberapa besar insentif yang diberikan kepada tax evaders atas tindakan mereka melakukan pengungkapan secara sukarela (voluntary disclosure). Sepanjang tax amnesty hanya menghapus seluruh atau sebagian sanksi administrasi, dan tax evaders masih harus membayar kewajiban pajak dan bunga atas keterlambatan pembayaran, maka tax evaders mendapat perlakuan yang sama jika dibandingkan dengan honest taxpayers karena keduanya menanggung beban pajak yang sama atas kewajiban perpajakan mereka masing-masing.
Pengurangan sanksi merupakan bentuk pemberian tax amnesty atas pengungkapan yang dilakukan oleh tax evaders terkait penghasilan yang tidak dilaporkannya. Akan tetapi, jika tax amnesty juga menghapus bunga atas keterlambatan pembayaran dan bahkan juga kewajiban pajak, maka tax evaders telah mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan honest taxpayers.
Walau Tax Amnesty memberikan pembebasan atas bunga keterlambatan pembayaran dan kewajiban pajak dari tax evaders, perlakuan yang berbeda dan lebih menguntungkan ini juga perlu untuk dijustifikasi. Justifikasi atas perlakuan tersebut dapat dibingkai dalam konteks perubahan sistem pajak dengan meningkatkan kemungkinan terdeteksinya perilaku tax evaders dalam menyembunyikan penghasilan atau asetnya di masa yang akan datang. Di samping itu, hal ini dapat dilihat sebagai bantuan kepada tax evaders untuk kembali ke dalam sistem administrasi perpajakan.
Diskriminasi juga dapat dijustifikasi berdasarkan pertimbangan fiskal dan ekonomi. Dalam hal ini, Tax Amnesty terjustifikasi karena terlepas dari seberapa banyak tax evaders berpartisipasi dalam Tax Amnesty, Tax Amnesty memberikan perlakuan yang adil kepada semua wajib pajak di masa yang akan datang karena seluruh beban pajak akan dialokasikan sesuai dengan kemampuan ekonomi dari setiap wajib pajak.
Akan tetapi agar dapat memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya dengan Tidak dilakukan Pemeriksaan, bukti permulaan, penyidikan atas tahun pajak 2015 dan sebelumnya.
Yang sedang dalam proses Pemeriksaan, bukti permulaan, penyidikan atas kewajiban perpajakan sebelum 1 Januari 2016, prosesnya dihentikan. tindak pidana perpajakan ditiadakan.Data yang disampaikan dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat digunakan unuk penuntutan pidana.
Landasan asas termuat dalam pasal[6] 2 ayat (1) pengampunan pajak didasarkan asas: a.kepastian hukum;,b.keadilan;,c.kemamfaatan;,d.kepentingan nasional.
Diharapkan dengan keeMpat landasan ini dapat memberikan kepastian hukum bagi para wajib pajak (WP) yang telah terdata dalam manajemen data dan informasi sebagai sasaran Tax Amnesty, serta dengan peningkatan pajak yang sesuai dengan apa yangtelah ditargetkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penarikan penerimaan pajak melalui kebijaka Tax Amnesty ini efektif pada bulan Agustus 2016 sampai dengan Maret 2017. Pajak dikenakan 2 % sampai dengan 6 % penerimaan pajak daridalam negeri, dan 4 % sampai dengan 6 % dari luar negeri. Dengan rincian penerimanaa Dana dalam negeri adalah: 1 Juli – 30 September 2016 Tarif 2 %, 1 Oktober – 31 Desember 2016 Tarif 3%, 1 Januari – 31 Maret 2017 Tarif 5% dan dana luar negeri : 1 Juli – 30 September 2016 Tarif 4%, 1 Oktober – 31 Desember 2016 Tarif 6%, 1 Januari – 31 Maret 2017 Tarif 10%.
2. Penegakkan hukum bagi wajib pajak yang tdak patuh padakebijakan Tax Amnesty
Dalam Undang-Undang Tax Amnesty ini memberikan sanksi yang cukup memberatkan bagi wajib pajak yang tidak mengungkapakan hartakekayaannya secara benar dan transparan, yang dinyatakan daam Pasal 18[7] ayat (3) bahwa “ atas tambahan penghasilan sebagaimana di sebut ayat (1) dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pajak penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200 % (dua ratus persen) dari pajak penghasilan yang tidak ataukurang dibayar”.
Segala persengketaan yang timbul akibat dari kebijakan perpajakan ini dapat dilakukan upaya hukum hanya melalui badan peradilan pajak sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat (1) dan (2).
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyidikan, jenis sanksi dan pemberian sanksi, baik administrative dan/atau sanksi pidana diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan.
D. KESIMPULAN
Hasil dari reformasi perpajakan dengan diberlakukannya Tax Amnesty, yang dituangkan dalam peraturan perundang undangan yakni undang –undang Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak,disertai tiga turunan peraturan pelaksananya.
Espektasi masyarakat terhadap Tax Amnesty diharapkan akan berbanding lurus dalam pelaksanaannya serta akan memberikan hasil yang maksimal dibuktikan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak (WP) yang signifikan, pengungkapan dan pelaporan harta kekayaan para wajib pajak yaitu dengan pelaporan secara patuh dan sukarela peningkatan akan income Negara melalui pajak yang ditujukan untuk pembangunan ekonomi kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.

Tax amnesty diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi wajib, terjaminnya kerahasian bagi parawajib pajak dengan pelaksanaan yang nondikriminatif.Wajib Pajak yang telah masuk daftar dalam manajemen data dan informasi tetapi patuh terhadap Tax Amnestyini dapat ditindak tegasbaik dari sisi administrative maupun sanksi pidana perpajakan.










Jumat, 12 Februari 2016

KRITISI TERHADAP KEBIJAKAN PAKET EKONOMI KE EMPAT BIDANG KETENAGAKERJAAN

Pertengahan tahun 2015, Indonesia mengalami perlambatan ekonomi akibat terpengaruh dari perubahan struktur pasar financial global, terjadi pelemahan nilai rupiah dari sektor domestik di perparah dengan isu-isu politik yang berkembang berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Sebagai respon tanggap cepat pemerintah mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekomomi, guna mengatasi hal tersebut. pada tahap ke empat pemerintah mengeluarkan kebijakan paket ekonomi ke empat bidang ketenakerjaan dan kredit usaha rakyat (KUR).
Khusus mengenai bidang ketenagakerjaan, oktober 2015  pemerintah telah menandatangani regulasi mengenai pengupahan. 
Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang efektif pada tahun 2016, dengan PP tersebut pemerintah berharap bahwa kebijakan pengupahan di arahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh. penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaan sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarga secara wajar.
Menurut Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan bahwa dalam paket kebijakan ini, pemerintah menjamin sistem pengupahan para pekerja atau buruh nantinya tidak masuk dalam kategori upah murah dan akan ada kenaikan upah setiap tahunnya, akan tetapi kebijakan ini juga tidak akan memberatkan bagi pengusaha.
Harapan pemerintah dengan terbitnya PP ini akan memancing respon para investor untuk mengembangkan usahanya dengan menjamin pengupahan yang terjangkau. 
tentunya untuk setiap arah kebaikan dan perbaikan pembangunan ekonomi bangsa selayaknya kita apresiasi dan dukung upaya pemerintah, namun yang menjadi pertanyaan adalah tepatkan paket kebijakan ekonomi keempat ini diberlakukan ??..
Mengingat dari formulasi upah yang ditawarkan dalam PP No.78 ini lebih pada memberatkan para pekerja karena perhitungan kenaikan upah di dasarkan pada perhitungan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi nasional, mengingat letak demograpis Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan tentu tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang jauh berbeda pada tiap daerahnya, sehingga sangat tidak menguntungkan pekerja jika perhitungannya didasarkan pada tingkat nasional, selain  itu juga dengan penetapan kenaikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang masing-masing maksimal hanya 5 % sehingga kenaikan upah pertahunnya maksimal hanya 10 % dari upah yang sedang berjalan pada tahun tersebut bahkan berpotensi minus.
pertanyaan kedua efektifkan perberlakuan PP No. 78  ??..
Jika melihat dunia usaha nasional, kita lihat banyak usaha multi international yang menutup perusahaannya di indonesia, apakah mereka tidak mampu membayar upah sehingga perusahaan tersebut harus tutup ?, jawaban tidak. hal tersebut lebih di karenakan pada melemahnya daya beli masyarakat. 
Harusnya pemerintah bukan menerbitkan peraturan mengenai upah yang terjamin/terjangkau, melainkan memberi semangat untuk meningkatkan daya beli masyarakat sehingga perusahaan-perusahaan tidak tutup yang menyisakan kisah sedih dari para pekerja dengan bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia.
Regulasi upah merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam dunia usaha dan sangat sensitif bagi para pekerja. Pemerintah sebagai pengayom rakyat harusnya dapat menjamin penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945. Pekerja yang berada pada bergaining positition yang lemah harusnya mendapat perlindungan dari pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih melindungi kepentingan para pekerja.
UMP harusnya didasarkan pada perhitungan pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah dengan kesekapatan dari dewan pengupahan, perwakilan pekerja dan pengusaha. Dan UMP harusnya dijadikan sebagai penjaring pengaman pertama saja, selebihnya ketentuan mengenai upah diserahkankan kepada pekerja dan pengusaha dengan mengedepankan azas kebebasan berkontrak 1320 KUHPER. 



Selasa, 09 Februari 2016

PERTANGGUNJAWABAN HUKUM RUMAH SAKIT TERHADAP PELAYANAN YANG DIBERIKAN KEPADA MASYARAKAT (PENERAPAN TEORI HUKUM MURNI HANS KELSEN)

1.LATAR BELAKANG 
Rumah Sakit merupakan salah satu organ yang bergerak melalui hubungan hukum dalam masyarakat yang diikuti oleh norma hukum dan norma etik masyarakat. Kedua norma tersebut berbeda baik dalam pembentukannya maupun dalam pelaksanannya, dan kedua norma tersebut tetap dipergunakan dan tetap diterapkan dalam Rumah Sakit untuk melayani kebutuhan pasien yang membutuhkan pertolongan kesehatan. Menurut Udang- Undang No. 44 tahun2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat1. Undang-Undang Rumah Sakit memberikan perlindungan hukum baik bagi masyarakat, tenaga kesehatan maupun pelaku usaha dan korporasinya. Sebagai badan hukum publik maka hakikatnya sebuah rumah sakit adalah penerapan hukum perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara, maka ruang lingkup tanggung jawabn juga meliputi tanggung jawab perdata, tanggung jawab pidana dan tanggung jawab Administrasi Negara2. 
a. Tanggung Jawab Perdata 
Hukum yang terjalin antara pasien maupun tenaga kerja yang berada di bawah tanggung jawab rumah sakit adalah lingkup hubungan perdata, hubungan yang dilahirkan adalah hubungan kontraktual teraupetik, di mana ppestasi dari perikatan ini bukan hasil (result verbintennis) tetapi upaya hasil (inspaning verbintennis). Perkara umumnya yang terjadi adalah perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Sebagaimana hubungan perdata lain, hubungan antara pasien dengan rumah sakit merupakan hubungan hak dan kewajiban yang saling berhadapan dan berimbang, masing-masing dibebankantanggung jawab hukum terhadap subyek hukum yang melanggar perikatan sebagaimanadi atur dalam pasal 1243 KUHPER atau secara khusus di atur dalam pasal 55 Undang-Undang kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit Pasal 44''.
b.   Tanggung Jawab Pidana
Ketentuan pidana pada rumusan KUHP di atur mengenaiketentuan pidana yang dapat diberlakukan pula terhadap rumah sakit selaku pemberi layanan kesehatan (provider) jika melakukan perbuatan melanggar norma hukum pidana . ketentuan-ketentuan di maksud terletak dalam ketentuan KUHP Pasal 322 pasal ini terkait dengan kejahatan yang berhubungan dengan kedudukan hukum seseorang sebagai pemegang jabatan.
b.  Tanggung Jawab Administrasi
Dalam ruang lingkup tanggung jawab administrasi Negara, hubungan hukum yangterjalin adalah antara pemerintah selaku subyek hukum pemegang kekuasaan dan rumah sakit selaku subyek hukum menjalankan perintah dari pemerintah.

     2. TEORI KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB; TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DAN KELOMPOK
Dalam tulisan Jimli asssidqie mengutif teori Hans kelsen :
       ‘’Pembedaan terminologi antara kewajiban hukum dan pertanggungjawaban hukum diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap pelaku delik langsung (deliquent) tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya. Hubungan tersebut ditentukan oleh aturan/tatanan hukum. Contohnya pertanggungjawaban korporasi terhadap suatu delik yang dilakukan oleh organnya. Suatu korporasi tidak memenuhi suatu perjanjian dan memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan olehnya. Atas dasar gugatan yang dilakukan pihak lain terhadap perjanjian tsb, suatu sanksi perdata dilaksanakan terhadap harta benda milik korporasi, yang merupakan harta kekayaan bersama dari para anggota korporasi tersebut. Dalam bahasa hukum, korporasi atau negara dipersonifikasikan; mereka adalah juristic person yang berlawanan dengan natural person. Dimana sebagai subjek pembawa kewajiban dan hak. Delik yang dilakukan oleh seorang individu-organ korporasi atau organ negara, maka sanksi ditujukan kepada korporasi atau terhadap semua subjek dari negara.
        Tanggungjawab seseorang mencakup perbuatan individu-individu yang lain. Hubungan hukum yang sama, yaitu antara delik dan sanksi, dinyatakan dalam konsep kewajiban dan tanggungjawab. Namun kedua konsep tsb menunjuk kepada dua hal yang berbeda dari hubungan sama. Dengan kata lain, norma hukum yang sama digambarkan sebagai kewajiban (keharusan) maupun sebagai tanggungjawab (pertanggungjawaban). Norma hukum mengandung arti kewajiban dalam hubungan dengan orang yang berpotensi sebagai pelaku delik. Norma hukum ini mengandung arti suatu tanggungjawab bagi yang berpotensi menjadi objek’’.
   Karena itu dapat dibenarkan untuk membedakan antara kewajiban dan tanggungjawab dalam kasus-kasus dimana sanksi tidak hanya ditujukan kepada pelaku delik, tetapi juga terhadap individu-individu lain yang mempunyai suatu hubungan yang ditentukan menurut hukum dengan pelaku delik4. 
    Pelaku delik adalah individu yang perbuatannya, karena telah ditentukan tatanan/aturan hukum, merupakan kondisi pemberian sanksi ditujukan terhadapnya atau terhadap individu lain yang mempunyai hubungan yang ditetapkan oleh hukum dengan pelaku delik. Subjek dari kewajiban hukum, yang diwajibkan menurut hukum adalah orang yang berkompeten untuk mematuhi atau tidak mematuhi norma hukum, yakni orang dalam perbuatannya di dalam kualitas deliknya merupakan kondisi pemberian sanksi. Tanggungjawab atas delik adalah orang, atau orang-orang yang terhadapnya sanksi ditujukan, meskipun bukan perbuatannya, melainkan hubungannya yang ditentukan menurut hukum dengan pelaku delik, yang merupakan kondisi dari sanksi yang ditujukan kepada dia atau mereka.
           Biasanya, orang hanya bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri, terhadap delik yang dilakukan sendiri tetapi kasus-kasus tertentu dimana seseorang menjadi bertanggungjawab terhadap perbuatan yang merupakan kewajiban dari orang lain, bertanggung jawab terhadap delik yang dilakukan oleh orang lain. Tanggung jawab dan kewajiban juga menunjuk kepada delik itu, tetapi kewajiban selalu menunjuk kepada delik dari pelaku itu sendiri, sedangkan tanggungjawab seseorang bisa menunjuk delik yang dilakukan orang lain.
     Dalam ranah hukum perdata, tanggungjawab terhadap kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh seseorang lain. Dengan mengandaikan bahwa tiada sanksi yang ditujukan kepada orang yang menyebabkan kerugian, maka deliknya tidak terpenuhinya kewajiban untuk mengganti kerugian tetapi kewajiban ini pada orang yang dikenai sanksi.
        Di sini orang yang bertanggung jawab terhadap sanksi mampu menghindari sanksi melalui perbuatan yang semestinya, yakni dengan memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh seorang lain7.
Suatu sanksi bila dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki komunitas/masyrakat hukum yang sama dengan individu yang melakukan delik
sebagai organ komunitas tsb, maka disebut sebagai pertanggung jawaban kolektif.
Pertanggungjawaban individual maupun kolektif dapat diberlakukan dengan mengingat fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang sepenuhnya independen.
        Ketika sanksi tidak diterapkan kepada pelaku delik, tetapi kepada individu yang memiliki hubungan hukum dengan pelaku delik, maka pertanggungjawaban individu tersebut memiliki karakter pertanggungjawaban absolut. Pertanggunganjawaban kolektif selalu merupakan pertanggungjawaban absolute.

3.  KASUS     

        kasus malpraktik yang sudah mempunyai putusan tetap seperti yang dilansir oleh Detik News : “Jumat 21 Jun 2013, 12:44 WIB-Jakarta. Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) keluarga pasien yang menggugat Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Alhasil, RSPI harus membayar ganti rugi yang dialami keluarga pasien Sita Dewi Darmoko sebesar Rp 2 miliar akibat salah diagnosa tumor.            
       Putusan MA itu diketok pada 2 Februari 2012 namun baru saja. diumumkan kepada publik lewat website MA. Seperti detikcom kutip dari website MA, Jumat (21\/6\/2013) dalam putusan PK Nomor 515 PK\/Pdt\/2011, kasus bermula saat Sita Dewi melakukan operasi Tumor Ovarium di RSPI pada 12 Februari 2005. Tim dokter yang melakukan operasi itu dipimpin Prof DR Ichramsyah A Rachman dengan anggota Dr Hermansyur Kertowisatro dan Prof Dr I Made Nazar.            
        Dari operasi itu, berdasarkan hasil uji Pathology Anatomi (PA) dinyatakan tumor yang menjangkit di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas. Setelah tumor itu diangkat, sampelnya dikirim untuk dites lagi. Hasilnya, pada 16 Februari 2005, PA justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Tumor yang ada di ovarium Sita ternyata ganas. Namun PA ini tidak pernah dikabarkan ke Sita maupun keluarganya. Tepat setahun kemudian atau pada pada 16 Februari 2006, Sita mengeluhkan adanya benjolan di sekitar perutnya. Lantas dilakukanlah CT Scan dan hasilnya Sita mengalami kanker liver stadium 4. Hal ini membuat kekecewaan yang sangat mendalam terhadap keluarga pasien karena awalnya dinyatakan bukan tumor ganas.Lantas keluarga memindahkan Sita ke RS Medistra. Namun sayang, tidak berapa lama nyawa Sita tak tertolong. Atas kesalahan diagnosa ini, keluarga pasien yang diwakili oleh anak Sita yaitu Pitra Azmirla dan Damitra Almira mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Pitra dan Damitra menggugat RSPI beserta para dokter yang menangani ibunya tersebut. Dalam gugatannya, RSPI dkk diminta mengganti rugi kerugian materiil sebesar Rp 172,7 juta dan kerugian immaterial sebesar Rp 20 miliar.            
        “Almarhum mengalami proses pengobatan yang panjang dan melelahkan,sementara kelalaian penyampaian PA mengakibaktakn almarhum semakin menderita,” papar Pitra dan Damitra dalam berkas gugatan itu.            
         Kerugian immaterial juga disebabkan kehilangan ibu yang juga kepala rumah tangga. Menjelang akhir hayat sampai berpulangnya almarhum, janji dan tanggug jawab Para Tergugat tidak pernah terealisir.        
      “Bahkan para Tergugat mencari-cari alasan dan terus melempar tanggung jawab kepada para dokter yang menangani almarhum,” papar penggugat. Atas gugatan ini, RSPI dkk menolak dengan tegas adanya kelalaian itu. “Para Penggugat telah menuduh; Tergugat I kurang tanggap quod non<\/em> berdasarkan hal-hal yang hanya merupakan suatu asumsi saja tanpa didukung bukti-bukti yang valid dan sah,” demikian salah satu eksepsi pihak rumah sakit dalam halaman 10.           
        Atas gugatan ini, PN Jaksel pada 30 Agustus 2007 memutuskan RSPI dkk telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh sebab itu RSPI dkk harus membayar ganti rugi baik materil maupun immaterial sebesar Rp 2 miliar.            
          Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 27 November 2008 dalam putusan bernomor 218\/PDT\/2008\/PT.DKI. Dalam vonis banding itu, Tergugat III yaitu Prof Dr I Made Nazar dibebaskan dari hukuman.
       Adapun di tingkat kasasi, MA hanya menghukum pihak RSPI sebesar Rp 200 juta. Sedangkan para dokter dinyatakan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Atas vonis ini, Pitra pun mengajukan PK dan dikabulkan “Mengadili kembali, menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum para Tergugat membayar kerugian materil dan immaterial sebesar Rp 2 miliar,” putus majelis PK yang diadili oleh Atja Sondjaja, Valerina JL Kriekhoff dan I Made Tara pada 2 Februari 2012 silam. detiknews(asp/nrl)

4.   APLIKASI TEORI

hukum dapat dibebani tanggun jawab perdata dalam hal rumah sakit melakukanpelanggaranhukum yang menyebabkan pasien menderita kerugian, dapat dasarkan pada jenis-jenis pertanggung jawaban seperti :
a.       Personal liability
Adalah pertanggung jawaban yang melekatpada individu seseorang artinya sipa yang berbuat ialah yang bertanggung jawab

b.      Strict liability
Adalah  tanggungjawab yang eringkali di sebut sebagai pertanggungjawaban tanpakesalahan (liability without fault). Mengingatseseorang harus bertanggung jawabmeskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa, baik yang bersifat sengaja (intentional), kecanggungan (ractikness) ataupun kelalaian (negligence). Dimana pada tanggung jawab ini berlaku product sould atau article of commerce, yang mana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkan, kecualiprodusen telah member peringatan akan kemungkinana terjadinya resiko tersebut

c.       Vicarious Liability
Adalah tanggungjawab yang timbu; akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya, sejalan dengan pasal 1367 ” seseorang tidak hanya bertanggungjawab terhadap atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, atau disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengawasannya.

d.      Responded Liability
Adalah tanggung jawab renteng

e.       Corporate Liability
Adalah tanggung jawab yang berada pada pemerintah, dalamhal inikesehatan menjdi tanggung jawab menteri kesehatanf.       Rep Ipso Liquotor Liability
Adalah tanggng jawab yang diakibatkan perbuatan melebihi wewenang atau perbuatan lancang. Dalam kasus malpraktik Nyonya Sita ini, rumah sakit sebagai provider (penyelenggara layanan kesehatan) adalah subyek hukum (rects persoon) yang kepadanya dibebankan hak dan kewajiban sesuai dengan pasal 1243 KUHPER dan Pasal 55 Undang-Undang Kesehatan dapat digugat ganti kerugian, serta dalam pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit “ Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang di timbulkan atas kelalaian yang ditimbulkan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”.            

          Sehingga menurut teori Kelsen “Biasanya, orang hanya bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri, terhadap delik yang dilakukan sendiri tetapi kasus-kasus tertentu dimana seseorang menjadi bertanggungjawab terhadap perbuatan yang merupakan kewajiban dari orang lain, bertanggung jawab terhadap delik yang dilakukan oleh orang lain. Tanggung jawab dan kewajiban juga menunjuk kepada delik itu, tetapi kewajiban selalu menunjuk kepada delik dari pelaku itu sendiri, sedangkan tanggungjawab seseorang bisa menunjuk delik yang dilakukan orang lain. Dalam ranah hukum perdata, tanggung jawabterhadap kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh seseorang lain.
       Dengan mengandaikan bahwa tiada sanksi yang ditujukan kepada orang yang menyebabkan kerugian, maka deliknya tidak terpenuhinya kewajiban untuk mengganti kerugian tetapi kewajiban ini pada orang yang dikenai sanksi. Di sini orang yang bertanggungjawab terhadap sanksi mampu menghindari sanksi melalui perbuatan yang semestinya, yakni dengan memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh seorang lain”.         

     Berdasar pada teori kelsen dn sejalan dengan KUHPER serta Undang-Undang kesehatan dan Undang-Undang Rumah sakit, pada putusan Peninjauan Kembali yang di kenakan sanksi ganti rugi adalah RSPI dan para tenaga dokter yang terlibat dalam kasus tersebut.
 5. ANALISA
            Kealfaan dan khilafan lebih merupakan pertanggung jawaban absolute dari pada culfability. Rumah sakit sebagai pembawa hak dan kewajiban menurut Kelsen adalah Juristic person dimana delik yang dilakukan oleh seorang individu-organ korporasi atau organ Negara, maka sanksi di tujukan kepada korporasi atau semua subjek yang terlibat.Orang yang bertanggung jawab terhadap sanksi mampu menghindari sanksi melalui perbuatan yang semestinya yakni dengan mengganti rugi atas kerugian yang disebabkan orang lain. 
6. PENUTUP
           Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban adalah konsep tanggung jawab hukum (liability), seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa ia dapat dikenakan sanksi dalam kasus perbuatan yang bertentangan/ Berlawanan hukum, sanksi di kenakan deliquet, karena perbuatannya sendiri yng membuat orang tersebut bertanggung jawab. Konsep tentang pertanggung jawaban hukum tidak hanya dikenakan terhadap pelaku delik langsung (deliquet) tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya. Suatu sanksi bila dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki Komunitas/masyarakat hukum yang sama dengan individu yang melakukan delik sebagai organ komunitas tersebut, maka disebut sebagai tanggung jawab kolektif.              


DAFTAR PUSTAKA

Hans Kelsen, 2012, Pengantar Teori Hukum, Cetakan VIII, bandung, terjemahan Siwi Purwandari 

M. Jimly assiddiqie Ali Saf’at  , 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta. @Kontitusi Press.

Machli Riyadi, SH. MH., 2015, Hukum Kesehatan Kontemporer, Bandung, Akademia

Kitab Undang- Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang- Undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

http://news.detik.com/berita/2280084/gara-gara-malpraktik-rs-pondok-indah-dihukum-rp-2-miliar

Sabtu, 23 Mei 2015

KETERWAKILAN PARA SRIKANDI DI PANSEL KPK



Pagi- pagi ketika sedang prepare berangkat kerja sambil nonton chanel berita nasional, topik hangat bincang pagi itu adalah “SRIKANDI MENCARI KESARTRIA”  terkait dengan penunjukan presiden Jokowi untuk tim panitia seleksi pemilihan ketua komisi pemberantasan korupsi ( PANSEL KPK) yang berjumlah Sembilan orang yang kesemuanya adalah perempuan. Hal ini mendapat reaksi beragam. Bincang pagi itu menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, politisi, dan pengamat politik serta menampilkan petikan komentar dari para politisi senayan.
Saya bukan aktivis feminis tapi ada hal yang menggelitik nurani saya sebagai perempuan pagi itu. Terlepas dari entah  strategi politik apa yang sedang Jokowi jalankan tapi saya mengomentari bagian keterwakilan/ keberadaan para  perempuan notabene  semuanya adalah perempuan di pansel KPK. Saya simak komentar bincang pagi itu ada satu komentar yang lebih tepatnya mengatakan “pola pikir perempuan itu berbeda strukturnya dengan laki-laki  jadi  akan lebih tepatnya kalau di imbangi dengan keberadaan laki-laki”.  Saya menyimpulkan bahwa dengan kata lain narasumber itu memandang skeptis keberadaan para SRIKANDI di tim pansel KPK.
Jadi salah ya kalau semua tim pansel KPK itu perempuan?, ketika dulu tim pansel KPK laki-laki semua, rasanya gak ada yang mempermasalahkan gender, tentang keberadaan kenapa disana laki laki semua.
Baru sebulan yang lalu tepat 21 April kemaren kita memperingati hari Kartini, sebagai simbolis bentuk pengakuan negara kita akan emansipasi wanita di segala bidang, well jika lihat dari fenomena di atas sepertinya bias gender masih lekat di negara sedemokratis ini, sebagai bahan refleksi kita bersama. Sebagai negara yang besar rasanya pemikiran yang seperti itu  terlalu kerdil jika dalam masa kekinian kita masih mendebatkan hal yang tidak subtantif.
Saatnya kita membuat perubahan, jangan memelihara pola pikir yang konvensional, lebih ways dalam menyikapi persoalan bangsa demi Indonesia yang lebih besar, setuju ??..




LATAR BELAKANG LAHIRNYA UU TENTANG RUMAH SAKIT

Di Indonesia rumah sakit pertama kali di dirikan oleh VOC  pada tahu 1626 yang di utamakan untuk melayani anggota militer dan kelurganya namun juga memberikan pelayanan gratis bagi kaum pribumi yang membutuhkan pengobatan, hal tersebut mendorong lahirnya rumah sakit lain di Indonesiadi yang di dirikan oleh kelompok agama dan di ikuti oleh rumah sakit lainnya. Sejarah  berdirinya rumah sakit lebih pada misi kemanusiaan yaitu memberikan pelayanan pengobatan kepada masyarakat atau kita simpulkan berorientasi sosial (sosial oriented ), seiring  pertumbuhan dan perkembangan rumah sakit baik itu di kelola oleh pemerintah maupun pihak swasta maka terjadi pergeseran nilai dimana dahulunya lebih berorientasi sosial menjadi orientasi bisnis. Dimana dalam pendirian dan operasinya sebuah rumah sakit harus mengeluarkan modal yang cukup besar. Hal itu tentu membuat  para pengelola berpikir bagaimana mengembalikan modal dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentu ini menimbulkan efek yang sangat memberatkan bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi lemah, sehingga tidak semua lapisan masayarakata tercover oleh pelayanan kesehatan yag memadai. Sebagaimana yang tercantum dalam  UUD 1945 disana di amanatkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang, untuk mencapai semua itu tentu harus ada regulasi yang memuat mengenai pelayanan kesehatan, hal ini yang mendorong lahirnya UUNo.44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Selain itu rumah sakit merupakan sebuah institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai karakteristik  tersendiri dimana banyak dipengaruhi oleh berbagai disiplin  ilmu, tekhnologi dan sosial masyarakat. Rumah sakit merupakan pemberi jasa layanan kesehatan yang langsung bersentuhan dengan individu yang holistik mencakup bio, psiko, sosial. spritual sehingga sangat rentan sekali terjadi gesekan, kesalahapahaman, malpraktik, sehingga perlu ada aturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban yang saling berhadapan. perauran yang mengatur tentang perumahsakitan selama ini di anggap  belum memberikan kepastian hukum baik bagi masyarakat sebagai pengguna maupun rumah sakit sebagai pihak pemberi jasa sehingga perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tentang rumah sakit yang mengakomodir hal-hal tersebut sehingga lahirlah UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Namun lahirnya UU tentang rumah sakit juga menimbulkan reaksi beragam bagi para pelakunya salah satuya adalah dengan di ajukannya permohonan  judicial review oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Pusat mehammadiyah mengajukan Judicial Review  pasal beberapa pasal 7, pasal 25, pasal 62, pasal 63, pasal 64. Dimana sebelumnya dalam pasal 7 ayat (2)’’ Rumah Sakit dapat didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta’’, ayat (4)’’Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak dibidang perumahsakitan.
Ketentuan tersebut di nilai pemohon mempunyai hambatan  khususnya mengenai perizinan yang dibutuhkan, dimana ketika di ajukan permohonan ijin operasional tersebut ditolak oleh Kementrian Kesehatan dan badan hukum yang berkompeten, selain itu juga harus menanggung beban pidana penjara, denda, sanksi administratif sebagai pemilik dan menjadi halangan bagi keberlangsungan usaha rumah sakit.
Persidangan Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Hamdan Zoelva mengabulkan permohonan sebagian menyatakan bahwa “pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak di maknai rumah sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak dibidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum bersifat nirlaba’’.
Dengan putusan itu tentu telah memberikan ruang bagi rumah sakit yang berbadan hukum yayasan untuk terus turut serta dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.



Kamis, 11 Desember 2014

LEGAL OFFICER


Lajunya pertumbuhan perusahaan semakin memperketat daya saing dan dalam praktiknya sering mengakibatkan permasalahan-permasalahan hukum baik yang ringan sampai dengan berat bahkan sangat berat. menyadari resiko yang di timbulkan tersebut perusahaan melakukan protektif dengan menggait tenaga hukum atau legal officer atau yang lebih familiar dengan telinga kita adalah staf hukum.
Sebagian perusahaan belum memahami akan pentingnya legal officer, berikut tulisan ini membuka wawasan kita akan peran dan fingsi seorang legal officer, tetapi sebelumnya harus kita ketahui dahulu bahwa legal officer adalah seseorang dengan background pendidikan sarjana hukum.
Kedudukan legal officer di perusahaan tergantung dari besarnya skala usaha dan kebijakan dari perusahaan tersebut. pada perusahaan besar posisi legal officer di bagi dalam beberapa kelompok atau bagian namun pada perusahaan yang berskala sedang dan kecil maka legal officer menangani semua hal. kalau menilik dari kebijakan maka kedudukan legal officer ada yang langsung dibawah direksi hal ini bertujuan untuk memudahkan legal officer mengambil langkah hukum ataupun memberikan advis dan memudahkan legal officer untuk melakukan koordinasi pada bagian - bagian dari perusahaan tersebut. tetapi ada juga perusahaan yang menempat posisi legal officer pada Human Resources Developmen (HRD) ruang lingkupnya mengatur aspek hukum ketenagakerjaan dan kontrak.
Kewenangan dari legal officer adalah menyelesaikan permasalahan permasalahan hukum perusahaan baik intern maupun ekstern tergantung dari posisi legal officer  di sebuah perusahaan seperti ulasan yang telah kita bahas di atas. Permasalahan yang muncul biasanya akibat dari kegiatan usaha baik antara perusahaan dengan individu (person) maupun perusahaan dengan badan usaha lainnya, baik itu permasalah perdata maupun pidana. seorang legal officer menetukan upaya hukum apa yang akan di ambil dengan memahami segala resiko yang akan timbul akibat dari upaya hukum yang di lakukan. jadi sebelum menentukan langkah hukum apa yang akan di ambil legal officer harus benar-benar memiliki data dan informasi akurat terkait dengan permasalan tersebut.
Tanggung jawab dari seorang legal officer adalah menjamin keberlangsungan dari perijinan usaha serta melakukan penyesuaian dari peraturan pemerintah berkaitan dengan usaha yang di jalankan. apabila permasalahan yang timbul harus di selesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) maka seorang legal officer dapat terjun langsung menangani atau meminta bantuan jasa advokat.
Mengingat semakin rumitnya masalah yang timbul akibat dari sebuah kegiatan usaha, maka legal officer memiliki peranan yang sangat penting, legal officer di tuntut untuk selalu update perkembangan dan rajin mengasah skill agar mampu mengimbangi dinamikan perusahaan dan perkembangan hukum.

 Good job kawan !!!

Selasa, 09 Desember 2014

DIBALIK PENENTUAN UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP)

      
Mari kita tengok sebentar untuk melihat hal apa saja di balik layar penentuan sebuah Upah Minimum Provinsi. Sebelumnya terlebih dahulu kita pahami apa sih upah minimum  provinsi atau yang sering di singkat UMP,  Upah Minimum Provinsi Menurut Permen no.1 Tahun. 1999 Pasal 1 ayat (1) Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai standar  pengaman dari ketentuan skala penggajian para tenaga kerja agar tidak lebih rendah dari standar yang tetapkan, hal ini sebagai nilai bargaining potition tenaga kerja agar tidak ada kesewenang-wenangan dari pihak pegusaha, dimana kita melihat lajunya pertembuhan penduduk dan besarnya jumlah usia produktif tidak berbanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Hal ini sangat riskan terjadinya praktik-praktik abuse power dari pihak pengusaha.

Keputusan Gubernur di buat berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan. Di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum seperti yang diatur dalam pasal 88 ayat (4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak. dengan memperhatikan kebutuhan hidup layak, Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa setiap daerah menentukan UMP masing – masing dalam bentuk  surat keputusan gubernur berdasar hasil rekomendasi dari  hasil kesepakatan dewan pengupahan .
Undang- Undang ketenagakerjaan  mengatur tentang dewan pengupahandan secara spesifik di atur Keppres 107 Tahun 2004. Dewan pengupahan merupakan lembaga non struktural yang bersifat tripartit. Dewan pengupahan di berikewenangan untuk melaksanakan Pasal 98 UU No. 13tahun2003 “untuk memberikan saran, pertimbangan dan merumuskan kebijakan pengupahan  yang akan ditetapkan pemerintah. Posisi dewan pengupahan di anggap penting untuk membantu pemerintah dalam penetapan UMP.

Dewan Pengupahan terbagi menjadi 3 wilayah, yakni Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dewan Pengupahan Nasional bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional (Pasal 4 Keppres 107/2004), jika mengacu dari Keppres ini tentu akan sangat sulit sekali jika pengupahan di tetapkan secara nasional karena perbedaan kebutuhan di tiap daerah memiliki biaya hidup yang berbeda. bahkan di beberapa daerah ada perbedaan biaya hidup  yang sangat signifikan, seperti perbandingan antara Banjarmasin dengan Irian Jaya. sehingga untuk penetapan gaji secara nasional tentu mempunyai kendala. Tetapi nantinya akan sangat mungkin adanya pemberlakuan gaji secara nasional apabila pembangunan  infrastruktur di negara kita telah merata.

Dewan pengupahan terdiri dari unsur asosiasi pengusaha , Dinas tenaga kerja, serta assosiasi serikat pekerja. Rapat bersama dalam proses penentuan ini sangat  alot karena di warnai oleh konflik of interest masing-masing perwakilan pihak.  Tentu semua pihak ingin memperjuangkan kepentingan masing masing, dan musyawarah mufakat selalu di kedepankan sebagai prinsip negara pancasila. Dan hasil dari kesepakatan bersama yang akan di rekomendasikan kepada pemerintah sesuai dengan wilayah dan untuk provinsi di serahkan kepada gubernur untuk di buat surat keputusan gubernur. Keputusan UMP ini di terbitkan awal Nopember setiap tahunnya dan akan berlaku pada awal tahun berikutnya.

UMP ini berdasar hasil survei di suatu daerah mengenai harga kebutuhan sandang dan pangan yang masuk dalam kategori atau komponen yang dianggap merupakan kebutuhan  hidup layak untuk seorang individu dengan perhitungan status lajang untuk kebutuhan satu bulan. hal in  di atur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum seperti yang diatur dalam pasal 88 ayat 4.
Standar KHL terdiri dari beberapa komponen, dan tiap komponen terdiri beberapa item tiap tahun berbeda berdasarkan inflasi yaitu dimana harga barang secara umum mengalami kenaikan secara terus menerus ataupun terjadi penurunan nilai mata uang dalam negeri.
Komponen KHL sebagai berikut:
1.    Makanan dan Minuman
2.    Sandang
3.    Perumahan
4.    Pendidikan
5.    Kesehatan
6.    Transportasi
7.    Rekreasi dan Tabungan

Jika kita melihat dari penetapan UMP berdasarkan kebutuhan hidup layak secara rasional belumlah layak karena masih di tentukan dari status lajang sesorang. Tetapi di sisi lain penentuan komponen KHL bertambah dan berdasar inflasi tiap tahunnya, sehingga  ini memberikan spirit tersendiri dari para tenaga kerja.

Selamat siang and good luck buat semua


Minggu, 30 November 2014

MEMAHAMI DAN MEMAKNAI KEBERADAAN ORGANISASI SERIKAT PEKERJA




Sebelum kita berbicara jauh tentang undang- undang serikat pekerja kita terlebih dahulu memahami bahawa Negara kita adalah hukum dimana prasyarat dari sebuah Negara hukum adalah menjunjung tinggi hak asasi manusia, hal itu di wujudkan dalam Undang Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang – Undang ini mengatur dan melindungi hak dasar/ kodrati yang melekat di diri manusia sebagai mahluk Tuhan yang berharkat dan bermartabat  sejak ia lahir. Di dalam Undang Undang ini mengatur kebebasan setiap warga negaranya yang ingin berserikat sebagaimana tertuang dalam   Pasal 24 ayat (1)’’Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai’’, ayat (2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal inilah yang menjadi pijakan sehingga lahir berbagai macam peraturan tentang kebebasan berserikat, mendirikan Ormas, partai politik dan lain sebagainya. Fokus pembahasan  topik kita sekarang adalah Undang- Undang No.21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Bahwa jelas yang mendorong lahirnya peraturan ini  adalah Undang- Undang No.39 tahun 1999.
Serikat  pekerja sesuai dengaUU No. 21 tahun 2000 Pasal 1 ayat (1) ‘’Serikat pekerja/ serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/ buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan keluarganya’’.

Jadi serikat pekerja merupakan pekerja dalam suatu perusahaan yang berkumpul dalam sebuah perserikatan pekerja sehingga  yang di amanat kan oleh peraturan di namakan serikat pekerja.  Pembentukan serikat pekerja harus memenuhi ketentuan dan syarat yang telah di atur dalam Undang – Undang Serikat pekerja. Bahwa unuk membentuk sebuah organisasi serikat pekerja minimal di perusahaan tersebut mempekerjakan sepuluh orang tenaga kerja, bahwa untuk membentuk itu organiasi serikat pekerja harus dibentuk kepengurusan, lambang organisasi, nenetapkan AD/RT organisasi kemudian melaporkan ke dinas tenaga kerja setempat untuk minta pengesahan dan nomor registrasi.
Apakah dengan berdirinya organisasi di sebuah perusahaan dengan serta merta bahwa organisasi tersebut dapat  bertindak semaunya agar tujuan organisasi tercapai, tentu tidak ya.. bahwa tujuan organisasi serikat pekerja harus tergambar jelas dalam AD/RT organisasi, apakah  sesuai  dengan  UU No. 21 tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan,serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/serikat dan keluarganya. Secara universal tujuan dari pendirian organisasi serikat pekerja harus bersifat damai tanpa menimbulkan kejahatan.
Pendirian organisasi serikat pekerja di perusahaan tidak atur tentang izin terlebih dahulu kepada pihak pengusaha,  tetapi sebagai organisasi yang ber mitra dengan perusahaan adalah etikanya untuk memberitahukan kepada pihak pengusaha akan keberadaan organisasi tersebut. Dan pihak pengusaha berkewajiban untuk memberikan tempat/ ruang kepada serikat pekerja untuk melakukan pertemuan ataupun rapat.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah setelah adanya organisasi serikat di sebuah perusahaan tersebut, maka para pengurusnya dapat ikut campur dalam manajemen perusahaan, jawabannya adalah ya, sebagian benar sebagian salah, mengapa demikian ?.. Walaupun sudah terbentuk organisasi yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang di tetapkan, tetapi kewenangan dari serikat pekerja ikut campur terhadap manajemen perusahaan adalah sepanjang memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja saja. Ini yang sering menjadi salah kaprah dari implementasi Undang – Undang serikat pekerja, mereka berpikir bahwa dengan adanya serikat pekerja dapat turut campur secara penuh terhadap perusahaan, jika begitu apa bedanya denga fungsi direksi. namun perlu di ketahui bahwa serikat pekerja di berikan hak dalam hal ini pengurus organiasi mempunyai wewenang dan hak untuk melakukan perundingan kepada pihak pengusaha untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka dengan  syarat bahwa jumlah anggota serikat pekrja itu telah memenuhi 50% dari jumlah pekerja yang ada di perusahaan, dengan melengkapi bukti- buktik terdaftar sebagai anggota serikat pekerja, kemudian para pengurus melakukan permohonan tertulis kepada pihak pengusaha dan pihak pengusaha berkewajiban memberikan jawaban kesempatan untuk perundingan maksimal dalam jangka waktu tiga puluh hari. Kemudian hasil kesempatan antara pengusaha dan serikat pekerja d tuangkan dalam sebuah perjanjian tertulis yaitu perjanjian kerja bersama/ PKB (pengusaha-serikat pekerja) sebagai pengganti dari peraturan perusahaan  seperti yang di atur dalam No.PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah jika tidak tercapai kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja, pekerja boleh melakukan mogok kerja ?.. Jawaban tentu saja boleh sebagai bentuk perwujudan jalan buntu perundingan, seperti terdapat dalam Pasal 25 UU HAM ‘’Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’’. Tepi dalam pasal ini menerangkan mogok yang seperti apa, bagaimana dan dimana dulu, hal ini di atur secar tersendiri dalam UU Ketenagakerjaan. pasal 1 angka 23  “Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/ atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Dengan mogok maka pihak pengusaha merasa di rugikan secara otomatis meningkatkan bargaining power dari pihak pekerja. Tetapi mogok kerja harus dilakukan dengan memenuhi syarat administratif  yaitu Pekerja atau Serikat Pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada perusahaan/ pengusaha dan Disnaker, 7 hari kerja. Peraturan melarang pekerja untuk mogok : 1.berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lmurinnya untuk lokasi perusahaan. mogok juga dilarang di lakukan di tempat  public seperti rumah sakit, tempat ibadah dan lainnya.

Jika kita benar benar mencermati hal di atas, sudah benarkah aplikasi  dari UU Ketenagakerjaan, UU Serikat pekerja serta peraturan lain yang terkait. Kadang kita jumpai bahwa pendirian dari sebuah organisasi serikat pekerja di sebuah perusahan di jadikan segelintir orang sebagai kuda politik untuk sebuah  tujuan tertentu di luar dari tujuan murninya untuk membela hak dan kepentingan pekerja, musyawarah dan mufakat tentunya harus lebih di kedepankan apabila terjadi konflik industrial sebagai azas negara kita, sehingga tercipta hubungan industrial yang harmonis dan dinamis. jika belum adalah tugas kita bersama untuk membenahinya!.

Salam Damai

Jumat, 28 November 2014

PENCEMARAN NAMA BAIK



Akhir - akhir ini sering sekali kita dengar  kasus pencemaran nama baik, Apakah itu di lingkungan kita langsung maupun di social media  seperti facebook, twiter, instagram dan social media lainnya. Di mana arus informasi dan tekhnologi melaju berbanding lurus namun tidak disertai kesiapan para penggunanya. Sehingga sering terjadi kekecewaan terhadap orang yang merasa nama baik maupun kehormatannya diserang dan akibatnya banyak laporan maupun pengaduan akan pencemaran nama baik.
Harusnya sih hal ini bisa di minimalisasi bahkan mungkin sekali dapat di cegah, andai saja kesiapan kita untuk menerima laju tekhnologi dan informasi turut berbanding lurus.
Tulisan ini kita mengupas tentang pencemaran nama baik ketika di tinjau dari peraturan perundangan baik itu KUHP maupun  lex spesialis UU ITE.

Apakah pencemaran nama baik itu, apakah setiap perbuatan tidak menyenangkan oleh seseorang terhadap orang lain adalah pencemaran nama baik dan apakan setiap tulisan di sosmed, postingan atau komentar tidak menyenang dapat  di kenakan sanksi UU ITE.

Pencemaran nama baik atau dalam bahasa Indonesia penghinaan adalah sama dengan merendahkan, memandang rendah (hina, tidak penting) atau memburukkan nama baik orang, menyinggung perasaan orang seperti memaki-maki, menistakan.

Pertanyaannya, pernahkan kamu melakukan seperti hal di atas baik secara langsung maupun melalui social media ?.. saya yakin sebagian besar  dari kita pernah melakukan hal demikian. Dan pertanyaan kedua, apakah kalian pernah berurusan dengan hukum akibat dari perbuatan kalian tersebut ?.. kalau tidak beruntunglah.. Tuhan masih sayang.
Sekarang adalah bagaimana kita paham betul tentang hal yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dan mencegah jangan sampai terjadi akibat hukum dari hal tersebut.

Di dalam kitab Undang Undang Hukum Pidana hal yang berkaitan mengatur mengenai penghinaan atau populernya pencemaran nama baik yaitu pada :
Pasal 310 ayat (1) KUHP’’Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,-‘’
Pasal 310 ayat (2) KUHP’’Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu di hukum  karena menistadengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknyaRp.4.500,-‘’.
Penghinaan yang dimaksud dalam pasal 310 KUHP ini adalah menyerang  kehormatan dan nama baik seseorang. Penghinaan sepeti menista, memfitnah. 
Dan apabila kita melihat dari denda tentu sudah tidak relefan lagi dari nilai denda yang dikenakan tetapi hakim tentunya punya pandangan maupun yuriprudensi terhadap hal ini.
Dan untuk mengontrol laju arus technologi dan informasi pemerintah mengeluarkan Undang – Undang Nomor  11 tahun  2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di harapkan dengan lahirnya UU ITE mampu mengontrol arus informasi, technologi agat tidak kebablasan dalam penggunaan informasi dan technologi. Didalam UU ITE mengatur sanksi tentang penyalagunaan mengenai informasi dan transaksi elektronik. Sehingga para pelaku tidak lagi dapat berkelit bahwa   tidak aturan yang mengatur mengenai hal ini. Namun tentunya perkembangan infomasi dan technologi sangat cepat berkembang bahkan lebh cepat dari keadaan umum di masyarakat sehingga UU selalu selangkah tertinggal dari laju arus perkembangan. Bukan tidak mungkin nantinya akan timbul hal-hal yag belum  diatur oleh UU ITEsehingga di harapkan UU ITE selalu melihat hal tersebut dan dapat dengan cepat  melakukan perimbangan.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE’’Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
Pasal 36 UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"
Pasal 45 ayat (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2),ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah.
Pasal 51 ayat (2) UU ITE ‘’Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00’’.
Undang Undang ITE ini pernah di lakukan judicial review karena di anggap melanggar azas demokrasi Indonesia dan oleh mahkamah kontuitusi pasal ini Kontitusional dengan merujuk pada aturan 310 KUHP dimana disana di jelaskan secara rinci tentang pencemaran nama baik. Terlepas dari hal gugatan judicial review tersebut menurut saya pribadi tidak ada yag salah dari ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut, tidak hak yang di langgar sepanjang masih dalam etika kewajaran tidak merugikan pihak- pihak lain.. Tetapi setiap orang berhak menilai dan memberikan   kesimpulan dan semua tentu tidak lepas dari konflik of intrest tiap orang.
Nah.. setelah kita mencermati dan memahami tetang pencemaran nama baik serta akibat hukum yang di timbulkan, masihkah kita berkeinginan atau berani untuk melakukan  penghinaan terhadap seseorang, tentu saya yakin kita semua tidak berani untuk melakukannya. Hanya karena ulah sesaat menanggung akibat yang berat.semua kemajuan tekhnologi apaun itu bentuknya adalah kuasa kita untuk mengontrolnya. Saya sangat setuju dengan ungkapan mulut mu harimau mu, setiap lisan dan tindakan adalah ukuran kualitas dari pribadi seseorang. berbuat baik   tidak akan merugikan.

Selamat hari ini kawan!!!.. salam sayang untuk kalian.